1. Pengertian Otonomi Daerah
Otonomi secara sempit diartikan
sebagai “mandiri”, sedangkan dalam arti luas adalah “berdaya”. Jadi otonomi
daerah adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk secara
mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai daerahnya sendiri.
Sedangkan desentralisasi
menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer/pemindahan kewenangan untuk
menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Sementara menurut Shahid Javid Burki dan kawan-kawan,
desentralisasi didefinisikan sebagai proses pemindahan kekuasaan politik,
fiskal, dan administratif kepada unit dari pemerintah pusat ke pemerintah
daerah.
Jadi otonomi daerah dapat
diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerinrah pusat kepada
pemerintah daerah. Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah adalah suatu
instrument politik dan instrumen administrasi yang digunakan untuk
mengoptimalkan sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya
untuk kemajuan suatu masyarakat di daerah, terutama menghadapi tantangan
global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas,
meningkatkan peran serta masyarakat dan mengembangkan demokrasi.
Penyelenggaraan
negara secara garis besar diselenggarakan dengan dua sistem yakni sistem
sentralisasi dan sistem desentralisasi. Sistem sentralisasi jika urusan yang
bersangkutan dengan aspek kehidupan dikelola di tingkat pusat. Pada hakekatnya
sifat sentralistik itu merupakan konsekuensi dari sifat negara kesatuan. Dalam perkembangan selanjutnya nampaknya
desentralisasi merupakan pilihan yang dianggap terbaik untuk menyelenggarakan
pemerintahan, meskipun implementasinya di beberapa negara, terutama di negara
ketiga masih banyak mendapat ganjalan struktural, sehingga penyelenggaraan
desentralisasi politik masih setengah hati (Abdul Wahab, 1994)
2. Latar Belakang dan Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia
Krisis
ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah
memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik yang telah
dibangun sejak lama. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem
manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan dan
pengelolaan segala sektor pembangun berada dalam kewenangan pemerintah pusat,
sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur
daerahnya. Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi
dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup
penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan
antarpusat dan daerah.
Dalam sejarahnya,
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dan
perubahan. Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang
pemerintahan derah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945.
Ditetapkannya undang-undang ini merupakaan hasil dari berbagai pertimbangan
pemerintahan kolonial. Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan
rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Didalam
undang-undang ini ditetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu keresidenan,
kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga
dalam kurun waktu 3 tahun beliu ada peraturan pemerintahan yang mengatur
mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini
kemudian diganti dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.
Undang-undang Nomor 22
Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang
demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 2 jenis daerah otonom, yaitu
daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 tingkatan daerah
otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada
ketentuan undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan
pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian dari pemerintah. Pemberian
otonom kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah,
telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemarintahan tentang
penyarahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.
Perjalanan sejarah otonomi
daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan
yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai
dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan
tetapi. Di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari
eksperimentasi politik penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.
Periode otonomi daerah di
Indonesia pasca UU No. 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang
pemerintahan daerah, yaitu UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, dan UU
No. 5 Tahun 1974. UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan
pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah bukan lagi otonomi
yang riil dan seluas-luasnya dapat menimbulkan kecebdrungan pemikiran yang
dapat membahayakan keutuhan Negara Republik Indonesia dan tidak serasi dengan
maksud dan tujuan otonomi kepada daerah sesuai denagn prinsip-prinsip yang
digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang
ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti denagn undang-undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan
reformasi berakhir.
Kehadiran
undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang
terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter orde baru dan munculnya
kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi disemua aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, siding istimewa
MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang
penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pemanfaatan, dan pembagiaan.
Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR
RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara
tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonomi
daerah dan desentralisasi politik.
Semangat
reformasi kemudian melahirkan penguatan kewenangan daerah yang mewujud dalam
terbentuknya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33
Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
3. Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah
Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah
antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak
perlu dalam menangani urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan
mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil
manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih
mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat
umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan
desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal.
Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga
kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan
semakin kuat.
Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah
adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2. Pengembangan
kehidupan demokrasi.
3. Keadilan.
4. Pemerataan.
5. Pemeliharaan hubungan yang
serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6. Mendorong untuk
memberdayakan masyarakat.
7.
Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran
serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Sebagian
para ahli pemerintahan mengemukakan pendapat lain tentang perlunya otonomi
daerah atau desentralisasi, yaitu:
1) Untuk
terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2) Sebagai
sarana pendidikan politik
3) Sebagai
persiapan karier politik
4) Stabilitas
politik
5) Kesetaraan
politik (political equality)
6) Akuntabilitas
publik.
4. Model Desentralisasi
Model desentralisasi adalah
pola penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi
untuk mengatur dan menangani urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Menurut Rondinelli,
model desentralisasi ada empat macam, yaitu:
1.
Dekonsentrasi
yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai
wakil pemerintah, dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
2.
Delegasi
adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk
melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung
berada di bawah pengawasan pemerintah pusat
3.
Devolusi
adalah transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen
kepada unit otonomi pemerintah daerah
4.
Privatisasi
adalah tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan
sukarela, swasta dan swadaya masyarakat.
5. Pembagian Urusan Pemerintahan
Menurut UU Nomor 32 Tahun
2004, tentang Otonomi Daerah, urusan pemerintahan dapat dibagi ke dalam urusan
pemerintahan pusat, pemerintahan daerah tingkat I, dan pemerintahan daerah
tingkat II. Pembagian urusan pemerintahan tersebut meliputi:
1.
Urusan
Pemerintahan Pusat, meliputi enam bidang, yaitu:
a.
Politik
Luar Negeri
b.
Pertahanan
c.
Keamanan
d.
Yustisi
e.
Moneter
dan Fiskal Nasional
f.
Agama
2.
Urusan
Wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi, meliputi 16 bidang,
yaitu:
a.
Perencanaan
dan pengendalian pembangunan
b.
Perencanaan,
pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c.
Penyelenggaraan, ketertiban umum, dan ketentraman
masyarakat
d.
Penyediaan
sarana dan prasarana umum
e.
Penanganan
bidang kesehatan
f.
Penyelenggaraan
pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g.
Penanggulangan
masalah sosial lintas kabupaten/kota
h.
Pelayanan
bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i.
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan
menengah, termasuk lintas kabupaten/kota
j.
Pengendalian
lingkungan hidup
k.
Pelayanan
pertahanan termasuk lintas kabupaten/kota
l.
Pelayanan
kependudukan dan catatan sipil
m.
Pelayanan
administrasi umum pemerintahan
n.
Pelayanan
administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o.
Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p.
Urusan
wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
3.
Urusan
wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, meliputi 15
bidang, yaitu:
a.
Perencanaan
dan pengendalian pembangunan
b.
Perencanaan,
pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
c.
Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman
masyarakat
d.
Penyediaan
sarana dan prasarana umum
e.
Penanganan
bidang pendidikan
f.
Penanggulangan
masalah sosial
g.
Pelayanan
bidang ketenagakerjaan
h.
Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
i.
Pengendalian
lingkungan hidup
j.
Pelayanan
pertanahan
k.
Pelayanan
kependudukan dan catatan sipil
l.
Pelayanan
administrasi umum pemerintahan
m.
Pelayanan
administrasi penanaman modal
n.
Penyelenggaraan
pelayanan dasar lainnya
o.
Urusan
wajib lainnya diamanatkan oleh perundang-undangan.
6. Otonomi Daerah dan Demokratisasi
Implementasi
otonomi daerah merupakan tuntutan dari masyarakat yang memiliki diversity
(keragaman) untuk mewujudkan civil society dan demokratisasi. Otonomi tidak
hanya sekedar penyerahan pelaksanaan urusan tetapi lebih mendekati makna yang
sesungguhnya ialah kewenangan pemerintah untuk menerapkan lokal democrasy.
Artinya, dengan melaksanakan otonomi daerah maka pemerintah akan menjadi lebih
demokratis. Pelaksanaan otonomi daerah akan membawa efektifitas dalam
pemerintahan, sebab wilayah negara Indonesia terdiri dari berbagai satuan
daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang
disebabkan oleh faktor-faktor geografi, adat istiadat, kehidupan ekonomi,
bahasa, tingkat pendidikan dan sebagainya. Suatu harapan kita semua, bahwa
otonomi daerah segera terwujud dan berjalan baik. Otonomi daerah merupakan
suatu tantangan dan kesempatan yang baik bagi penyelenggara pemerintahan daerah
dalam menampilkan kinerja pelayanan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintah dan
pembangunan di daerah diharapkan lebih adil, demokratis, memberdayakan
masyarakat di segala aspek dan tingkatan.
Tujuan utama adanya
kebijakan otonomi daerah adalah sebagai upaya mewujudkan:
1)
Kesetaraan
politik (political equality), yaitu
hak warga negara untuk mendapatkan kesetaraan atau kesamaan politik
2)
Tanggung
jawab daerah (local accountability),
yaitu masyarakat daerah dapat secara langsung ikut bertanggung jawab dalam
membangun dan mengembangkan segala potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan yang ada pada daerah bagi kesejahteraan dan
kemakmuran rakyat dan daerahnya
3)
Kesadaran
daerah (local responsiveness) yaitu
kesadaran daerah untuk menumbuhkembangkan segenap potensi yang dimilikinya bagi
masyarakat maupun negara.
Sedangkan prasyarat yang
harus dipenuhi untuk mencapai tujuan dari kebijakan otonomi daerah adalah:
a.
Memiliki
territorial kekuasaan yang jelas (legal
territorial of power)
b.
Memiliki
pendapatan daerah sendiri (legal
territorial of income)
c.
Memiliki
badan perwakilan (local representative
body)
d.
Memiliki
kepala daerah yang dipilih sendiri melalui Pemilu (local leader executive by election)
Daftar Pustaka
1.
Srijanti,
A. Rahman H.I, Purwanto S.K, Pendidikan
Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009
2.
Syahrial
Syarbaini, Rusdiyanta, Fatkhuri, Pendidikan
Kewarganegaraan: Implementasi Karakter Bangsa, Jakarta: Hartomo Media
Pustaka, 2012
3.
Sutoyo,
Pendidikan Kewarganegaraan untuk
Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011
4.
Ubaedillah
dan Abdul Rozaq, Pendidikan kewarganegaraan, cetakan ke-5, Jakarta:ICCE
UIN Jakarta, 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar