Kamis, 25 Juni 2015

Otonomi Daerah




1.   Pengertian Otonomi Daerah

Otonomi secara sempit diartikan sebagai “mandiri”, sedangkan dalam arti luas adalah “berdaya”. Jadi otonomi daerah adalah pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah untuk secara mandiri atau berdaya membuat keputusan mengenai daerahnya sendiri.

Sedangkan desentralisasi menurut M. Turner dan D. Hulme adalah transfer/pemindahan kewenangan untuk menyelenggarakan beberapa pelayanan kepada masyarakat dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Sementara menurut Shahid Javid Burki dan kawan-kawan, desentralisasi didefinisikan sebagai proses pemindahan kekuasaan politik, fiskal, dan administratif kepada unit dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah.

Jadi otonomi daerah dapat diartikan pelimpahan kewenangan dan tanggung jawab dari pemerinrah pusat kepada pemerintah daerah. Dalam pola pikir demikian, otonomi daerah adalah suatu instrument politik dan instrumen administrasi yang digunakan untuk mengoptimalkan sumber daya lokal, sehingga dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemajuan suatu masyarakat di daerah, terutama menghadapi tantangan global, mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat dan mengembangkan demokrasi.

Penyelenggaraan negara secara garis besar diselenggarakan dengan dua sistem yakni sistem sentralisasi dan sistem desentralisasi. Sistem sentralisasi jika urusan yang bersangkutan dengan aspek kehidupan dikelola di tingkat pusat. Pada hakekatnya sifat sentralistik itu merupakan konsekuensi dari sifat negara kesatuan.  Dalam perkembangan selanjutnya nampaknya desentralisasi merupakan pilihan yang dianggap terbaik untuk menyelenggarakan pemerintahan, meskipun implementasinya di beberapa negara, terutama di negara ketiga masih banyak mendapat ganjalan struktural, sehingga penyelenggaraan desentralisasi politik masih setengah hati (Abdul Wahab, 1994)

2.   Latar Belakang dan Perkembangan Otonomi Daerah di Indonesia

Krisis ekonomi dan politik yang melanda Indonesia sejak tahun 1997 telah memporak-porandakan hampir seluruh sendi-sendi ekonomi dan politik yang telah dibangun sejak lama. Krisis tersebut salah satunya diakibatkan oleh sistem manajemen negara dan pemerintahan yang sentralistik, di mana kewenangan dan pengelolaan segala sektor pembangun berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sementara daerah tidak memiliki kewenangan untuk mengelola dan mengatur daerahnya. Sebagai respons dari krisis tersebut, pada masa reformasi dicanangkan suatu kebijakan restrukturisasi sistem pemerintahan yang cukup penting, yaitu melaksanakan otonomi daerah dan pengaturan perimbangan keuangan antarpusat dan daerah.

Dalam sejarahnya, pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia telah mengalami banyak perkembangan dan perubahan. Peraturan perundang-undangan yang pertama kali yang mengatur tentang pemerintahan derah pasca proklamasi kemerdekaan adalah UU No. 1 Tahun 1945. Ditetapkannya undang-undang ini merupakaan hasil dari berbagai pertimbangan pemerintahan kolonial. Undang-undang ini menekankan aspek cita-cita kedaulatan rakyat melalui pengaturan pembentukan Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Didalam undang-undang ini ditetapkan 3 jenis daerah otonom, yaitu keresidenan, kabupaten, dan kota. Periode berlakunya undang-undang ini sangat terbatas. Sehingga dalam kurun waktu 3 tahun beliu ada peraturan pemerintahan yang mengatur mengenai penyerahan urusan (desentralisasi) kepada daerah. Undang-undang ini kemudian diganti dengan undang-undang Nomor 22 Tahun 1948.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 berfokus pada pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam undang-undang ini ditetapkan 2 jenis daerah otonom, yaitu daerah otonom biasa dan daerah otonom istimewa, serta 3 tingkatan daerah otonom, yaitu provinsi, kabupaten/kota besar, dan desa/kota kecil. Mengacu pada ketentuan undang-undang Nomor 22 Tahun 1948, penyerahan sebagian urusan pemerintahan kepada daerah telah mendapat perhatian dari pemerintah. Pemberian otonom kepada daerah berdasarkan undang-undang tentang pembentukan daerah, telah dirinci lebih lanjut pengaturannya melalui peraturan pemarintahan tentang penyarahan sebagian urusan pemerintahan tertentu kepada daerah.

Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia selalu ditandai dengan lahirnya suatu produk perundang-undangan yang menggantikan produk sebelumnya. Perubahan tersebut pada satu sisi menandai dinamika orientasi pembangunan daerah di Indonesia dari masa ke masa. Akan tetapi. Di sisi lain hal ini bisa pula dipahami sebagai bagian dari eksperimentasi politik penguasa dalam menjalankan kekuasaannya.

Periode otonomi daerah di Indonesia pasca UU No. 22 tahun 1948 diisi dengan munculnya beberapa UU tentang pemerintahan daerah, yaitu UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 18 Tahun 1965, dan UU No. 5 Tahun 1974. UU yang disebut terakhir mengatur pokok-pokok penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tugas pemerintah pusat di daerah bukan lagi otonomi yang riil dan seluas-luasnya dapat menimbulkan kecebdrungan pemikiran yang dapat membahayakan keutuhan Negara Republik Indonesia dan tidak serasi dengan maksud dan tujuan otonomi kepada daerah sesuai denagn prinsip-prinsip yang digariskan dalam GBHN yang berorientasi pada pembangunan dalam arti luas. Undang-undang ini berumur paling panjang, yaitu 25 tahun, dan baru diganti denagn undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 setelah tuntutan reformasi berakhir.

Kehadiran undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tidak terlepas dari perkembangan situasi yang terjadi pada masa itu lengsernya rezim otoriter orde baru dan munculnya kehendak masyarakat untuk melakukan reformasi disemua aspek kehidupan  berbangsa dan bernegara. Berdasarkan kehendak reformasi itu, siding istimewa MPR tahun 1998 yang lalu menetapkan ketetapan MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pemanfaatan, dan pembagiaan. Momentum otonomi daerah di Indonesia semakin mendapatkan tempatnya setelah MPR RI melakukan amandemen pada pasal 18 UUD 1945 dalam perubahan kedua yang secara tegas dan eksplisit menyebutkan bahwa Negara Indonesia memakai prinsip otonomi daerah dan desentralisasi politik.

Semangat reformasi kemudian melahirkan penguatan kewenangan daerah yang mewujud dalam terbentuknya UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah.


3. Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah

Tujuan utama dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah antara lain adalah membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan daerah. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat.

Adapun tujuan pemberian otonomi kepada daerah adalah sebagai berikut:
1.     Peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik.
2.     Pengembangan kehidupan demokrasi.
3.     Keadilan.
4.     Pemerataan.
5.     Pemeliharaan hubungan yang serasi antara Pusat dan Daerah serta antar daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
6.     Mendorong untuk memberdayakan masyarakat.
7.     Menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Sebagian para ahli pemerintahan mengemukakan pendapat lain tentang perlunya otonomi daerah atau desentralisasi, yaitu:
1)     Untuk terciptanya efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
2)     Sebagai sarana pendidikan politik
3)     Sebagai persiapan karier politik
4)     Stabilitas politik
5)     Kesetaraan politik (political equality)
6)     Akuntabilitas publik.




4.   Model Desentralisasi

Model desentralisasi adalah pola penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan menangani urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Menurut Rondinelli, model desentralisasi ada empat macam, yaitu:
1.     Dekonsentrasi yaitu pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah, dan atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
2.     Delegasi adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang tidak secara langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat
3.     Devolusi adalah transfer kewenangan untuk pengambilan keputusan, keuangan, dan manajemen kepada unit otonomi pemerintah daerah
4.     Privatisasi adalah tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta dan swadaya masyarakat.

5.   Pembagian Urusan Pemerintahan

Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004, tentang Otonomi Daerah, urusan pemerintahan dapat dibagi ke dalam urusan pemerintahan pusat, pemerintahan daerah tingkat I, dan pemerintahan daerah tingkat II. Pembagian urusan pemerintahan tersebut meliputi:
1.     Urusan Pemerintahan Pusat, meliputi enam bidang, yaitu:
a.     Politik Luar Negeri
b.     Pertahanan
c.      Keamanan
d.     Yustisi
e.     Moneter dan Fiskal Nasional
f.       Agama

2.     Urusan Wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Provinsi, meliputi 16 bidang, yaitu:
a.     Perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.     Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang
c.      Penyelenggaraan, ketertiban umum, dan ketentraman masyarakat
d.     Penyediaan sarana dan prasarana umum
e.     Penanganan bidang kesehatan
f.       Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial
g.     Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota
h.     Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota
i.       Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah, termasuk lintas kabupaten/kota
j.       Pengendalian lingkungan hidup
k.      Pelayanan pertahanan termasuk lintas kabupaten/kota
l.       Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
m.    Pelayanan administrasi umum pemerintahan
n.     Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota
o.     Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota
p.     Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

3.     Urusan wajib yang menjadi kewenangan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota, meliputi 15 bidang, yaitu:
a.     Perencanaan dan pengendalian pembangunan
b.     Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang
c.      Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat
d.     Penyediaan sarana dan prasarana umum
e.     Penanganan bidang pendidikan
f.       Penanggulangan masalah sosial
g.     Pelayanan bidang ketenagakerjaan
h.     Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah
i.       Pengendalian lingkungan hidup
j.       Pelayanan pertanahan
k.      Pelayanan kependudukan dan catatan sipil
l.       Pelayanan administrasi umum pemerintahan
m.    Pelayanan administrasi penanaman modal
n.     Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya
o.     Urusan wajib lainnya diamanatkan oleh perundang-undangan.



6.   Otonomi Daerah dan Demokratisasi

Implementasi otonomi daerah merupakan tuntutan dari masyarakat yang memiliki diversity (keragaman) untuk mewujudkan civil society dan demokratisasi. Otonomi tidak hanya sekedar penyerahan pelaksanaan urusan tetapi lebih mendekati makna yang sesungguhnya ialah kewenangan pemerintah untuk menerapkan lokal democrasy. Artinya, dengan melaksanakan otonomi daerah maka pemerintah akan menjadi lebih demokratis. Pelaksanaan otonomi daerah akan membawa efektifitas dalam pemerintahan, sebab wilayah negara Indonesia terdiri dari berbagai satuan daerah yang masing-masing memiliki sifat-sifat khusus tersendiri yang disebabkan oleh faktor-faktor geografi, adat istiadat, kehidupan ekonomi, bahasa, tingkat pendidikan dan sebagainya. Suatu harapan kita semua, bahwa otonomi daerah segera terwujud dan berjalan baik. Otonomi daerah merupakan suatu tantangan dan kesempatan yang baik bagi penyelenggara pemerintahan daerah dalam menampilkan kinerja pelayanan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah diharapkan lebih adil, demokratis, memberdayakan masyarakat di segala aspek dan tingkatan.

Tujuan utama adanya kebijakan otonomi daerah adalah sebagai upaya mewujudkan:
1)     Kesetaraan politik (political equality), yaitu hak warga negara untuk mendapatkan kesetaraan atau kesamaan politik
2)     Tanggung jawab daerah (local accountability), yaitu masyarakat daerah dapat secara langsung ikut bertanggung jawab dalam membangun dan mengembangkan segala potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan yang ada pada daerah bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat dan daerahnya
3)     Kesadaran daerah (local responsiveness) yaitu kesadaran daerah untuk menumbuhkembangkan segenap potensi yang dimilikinya bagi masyarakat maupun negara.

Sedangkan prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan dari kebijakan otonomi daerah adalah:
a.     Memiliki territorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power)
b.     Memiliki pendapatan daerah sendiri (legal territorial of income)
c.      Memiliki badan perwakilan (local representative body)
d.     Memiliki kepala daerah yang dipilih sendiri melalui Pemilu (local leader executive by election)

Daftar Pustaka


1.     Srijanti, A. Rahman H.I, Purwanto S.K, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009
2.     Syahrial Syarbaini, Rusdiyanta, Fatkhuri, Pendidikan Kewarganegaraan: Implementasi Karakter Bangsa, Jakarta: Hartomo Media Pustaka, 2012
3.      Sutoyo, Pendidikan Kewarganegaraan untuk Perguruan Tinggi, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011
4.     Ubaedillah dan Abdul Rozaq, Pendidikan kewarganegaraan, cetakan ke-5, Jakarta:ICCE UIN Jakarta, 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar